REVADELLA FIBRI OLIVIANDARI UNAIR
Edukasi | 2024-11-30 17:18:21
Fenomena mental breakdown, atau gangguan mental akut, telah menjadi isu yang semakin relevan di tengah perkembangan zaman yang penuh tekanan. Di era modern ini, dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi, baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan sosial, banyak individu yang terjebak dalam kesibukan dan tuntutan yang melelahkan. Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, menyebabkan stres, kecemasan, dan pada titik tertentu, memicu mental breakdown. Mental breakdownsendiri bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan masalah sosial dan budaya yang lebih luas. Faktor penyebabnya sangat kompleks dan bervariasi, mulai dari tekanan pekerjaan, masalah pribadi, ekspektasi sosial yang tinggi, hingga dampak dari fenomena digitalisasi yang terus berkembang pesat (Farika et al., 2024). Dalam dunia yang terhubung secara digital, individu sering kali merasa terperangkap dalam arus informasi yang tiada henti dan tuntutan yang tak kunjung selesai.
Fenomena ini sangat penting untuk dibahas karena dampaknya yang begitu besar terhadap kesejahteraan individu dan produktivitas sosial. Ketika seseorang mengalami mental breakdown, tidak hanya kualitas hidup mereka yang terpengaruh, tetapi juga hubungan sosial, kinerja profesional, dan kesehatan fisik mereka dapat terganggu secara signifikan. Selain itu, mental breakdown sering kali tidak dikenali dengan baik oleh masyarakat luas, yang mengarah pada penanganan yang terlambat atau bahkan diabaikan sama sekali. Banyak orang masih terjebak dalam stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental, yang membuat mereka ragu untuk mencari bantuan atau bahkan untuk mengakui perasaan mereka. Hal ini memperburuk keadaan dan memperpanjang masa pemulihan mereka.
Di sisi lain, fenomena mental breakdown juga terkait erat dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya, banyaknya tekanan yang diberikan oleh media sosial, yang memperlihatkan gambaran kehidupan sempurna, menciptakan perasaan tidak cukup atau rendah diri di kalangan individu, terutama kalangan muda. Ditambah dengan tantangan ekonomi yang semakin berat dan ketidakpastian masa depan, banyak orang merasa bahwa mereka harus terus bergerak cepat tanpa mempertimbangkan batasan fisik dan mental mereka. Padahal, setiap individu memiliki kapasitas dan mekanisme coping yang berbeda dalam menghadapi stres, dan ketika kapasitas ini terlampaui, mental breakdown bisa menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Selain itu, sering kali gejala mental breakdown diabaikan atau dianggap sebagai tanda kelemahan pribadi (Kudus et al., 2022). Banyak individu yang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan karena adanya stigma terkait kesehatan mental. Mereka merasa bahwa mencari dukungan atau terapi berarti mereka tidak mampu menghadapinya sendiri, padahal kenyataannya, meminta bantuan adalah langkah yang sangat penting dalam proses pemulihan. Kurangnya kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan kurangnya pemahaman tentang tanda-tanda awal dari mental breakdownmembuat banyak orang gagal mengenali peringatan dini dari tubuh dan pikiran mereka, sehingga masalah ini menjadi semakin memburuk.
Pentingnya edukasi mengenai mental breakdown tidak hanya terletak pada pengenalan tanda-tandanya, tetapi juga dalam memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang cara-cara untuk mengelola stres dan menjaga keseimbangan emosional. Terapi psikologis, konseling, dan teknik manajemen stres seperti meditasi, olahraga, atau bahkan sekadar berbicara dengan seseorang yang dipercayai, adalah langkah-langkah penting yang dapat dilakukan oleh individu untuk mencegah mental breakdown. Penerapan budaya yang lebih mendukung kesehatan mental di tempat kerja, sekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari akan sangat membantu dalam mengurangi risiko gangguan mental ini.
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena mental breakdown ini harus dilihat sebagai masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian lebih. Sistem kesehatan mental yang lebih terjangkau dan mudah diakses, serta kebijakan yang mendukung kesejahteraan emosional, harus menjadi prioritas di berbagai negara. Ini mencakup penyediaan sumber daya yang cukup untuk layanan psikologis, penghapusan stigma, dan penerapan pendidikan yang lebih baik mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental sejak usia dini. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih siap menghadapi tantangan kehidupan dan menjaga keseimbangan mental mereka, mengurangi risiko terjadinya mental breakdown yang bisa memengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Kudus, W. A., Napilah, S. N., Utami, N., Faizal, A. A., Handayani, A., Ratiah, R., & Arief, M. N. (2022). Implementasi Pendekatan Humanistik pada Kondisi Mental Mahasiswa Semester Akhir di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(6), 10427–10435.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.